KEHILANGAN
By Syaefudin Simon
Setiap
manusia pasti pernah mengalami kehilangan -- tidak saja harta, tapi
juga kesehatan, kehormatan, kekasih, cinta dan kasih sayang. Bahkan,
keberhasilan yang dicapai seseorang pada sisi tertentu sebetulnya
terdapat sesuatu yang hilang. Entah itu tenaga, uang dan sebagainya.
Ada
orang yang bisa bersabar menerima musibah kehilangan. Namun, banyak
pula yang bingung, stres, bahkan gila karena tidak bisa menerima
kehilangan tersebut. Keterikatannya yang kuat pada sesuatu yang
dimilikinya menjadikan jiwanya terputus dan hampa jika sesuatu itu
hilang.
Kehilangan bisa menimpa siapa saja. Tak pandang bulu.
Lelaki, perempuan, anak-anak, orang tua, orang desa, orang kota. Siapa
saja. Ini karena kehilangan adalah sebuah proses yang harus dilalui
dalam perguliran kehidupan.
Di dunia, kehilangan pada hakikatnya
merupakan unsur esensial dalam proses penciptaan. Bunga mawar merekah,
kuntum pun hilang. Tanaman mekar, biji pun hilang. Fajar menyingsing,
malam pun hilang. Kematian datang, hidup pun hilang.
Dalam hal
terakhir ini, banyak orang menganggap kehilangan hidup adalah tragedi
terbesar dalam perjalanan sejarah manusia. Itulah sebabnya, orang
berusaha mempertahankan hidup dengan sekuat tenaga dan biaya. Bahkan
untuk mempertahankan hidupnya, tak sedikit orang yang rela mengorbankan
apa saja -- termasuk keimanannya. Padahal, kehilangan hidup (MATI)
adalah sesuatu yang alami, yang pasti akan terjadi.
hidup memang
karunia Allah terbesar pada ciptaan-Nya. Sejauh ini tidak ada orang yang
mampu menciptakan hidup. Robot canggih dengan sejuta mikrochip dan
sensor elektrokimiawi pun tidak mampu menjalani hidup seperti halnya
makhluk hidup ciptaan Allah.
Bagaimana dengan kematian? Kematian,
sesungguhnya tidak kalah menakjubkannya dengan hidup. Kematian,
sebagaimana hidup, adalah karunia terbesar dari Allah kepada makhluk
ciptaan-Nya. Sebab, kematian -- tidak seperti matinya robot ciptaan
manusia -- merupakan gerbang dari kehidupan baru.
Alquran,
misalnya, memandang kematian sebagai awal kehidupan yang
sebenar-benarnya. Itulah sebabnya, sufi Yazid Bustomi, sangat heran
mengapa orang takut mati. Bukan kehidupan yang takut pada kematian, kata
Yazid Bustomi, tapi kematian yang seharusnya takut pada kehidupan.
Kesadaran Bustomi ini muncul karena ia melihat kematian sebagai awal
dari kehidupan yang hakiki.
Bila kita melihat ini, maka kematian
sesungguhnya jauh lebih menakjubkan dibanding kehidupan. Ini karena
kematian merupakan awal dari kehidupan manusia yang benar-benar riil,
adil, peka, dan segalanya. Allah, misalnya, melukiskan kehidupan dunia
ini sebagai senda gurau dan permainan. Sedangkan hidup setelah kematian
adalah sebuah kehidupan yang sebenar-benarnya kehidupan. ''Dan tiadalah
kehidupan dunia melainkan suatu senda gurau dan permainan. Dan
sesungguhnya kehidupan akhirat itulah yang merupakan kehidupan
sebenarnya kalau mereka mengetahui (QS. 29: 64). Untuk itulah, Allah
selalu mewanti-wanti manusia untuk membekali diri dalam mengarungi
kehidupan yang sebenar-benarnya. ''Bertakwalah kepada Allah, wahai
manusia. Perhatikan apa yang telah kau perbuat untuk kehidupan
akhiratmu.'' (QS. 59:18).
0 komentar:
Posting Komentar